Wafatnya Soeharto beberapa waktu yang lalu telah membuat kontroversi tersendiri mencuat ke public jadi topic hangat dalam perbincangan hingga menimbulkan suatu pertanyaan layakkah Soeharto disebut “pahlawan nasional”. Di tvtv dimuat perjalanan dan kiprahnya selama ini di panggung dunia politik, beberapa prestasinya yang telah berjaya mengantarkan bangsa Indonesia merasakan hidup bergelimang kenikmatan mendapat pangan dengan harga yang stabil dan mencukupi kebutuhan nasional yang dikenal dengan swasembada pangan, namun, situasi sebaliknya terjadi dan mau tidak mau semuanya harus merasakan kenyataan pahit kalau seluruh hutang Soeharto atas nama negara kini menjadi tanggungan rakyat, begitu pula generasi berikutnya yang tidak tahu menahu dan terlibat didalamnya juga harus mau menanggung akibat perbuatannya. Inikah yang disebut “pahlawan”, yang seharusnya memikirkan masa depan negara dan kesejahteraan rakyat tentunya tidak dijadikan taruhan. Pada masanya, siapapun yang berbicara tentang pemerintahannya dan mengkritik gaya kepemerintahannya apalagi berkomentar terhadap kebijakannya, akan dipenjarakan dan tidak diketahui lagi bagaimana nasibnya. Kesadaran masyarakat mulai timbul ketika seluruh organisasi mahasiswa termasuk KAMMI yang mulai gerah dengan tindakan Soeharto selama menjabat sebagai presiden menduduki gedung MPR, menuntut Soeharto agar turun dari jabatannya sebagai presiden. Kekuasaanya selama 32 tahun runtuh keesokan harinya melalui pernyataannya mengudurkan diri sebagai presiden RI dan secara otomatis kedudukannya digantikan oleh BJ. Habibie menjadi presiden RI, mengisi sisa masa jabatannya. Durasi pergantian dan serah jabatan ini tidak berlangsung lama hanya membutuhkan waktu lima menit. Kala itu seluruh mahasiswa merasakan kegembiraan atas runtuhnya rezim orde baru kemudian memasuki era reformasi hingga saat ini
Munculnya memori kenangan manis pada sebagian masyarakat tentang masa indah era Orde Baru, yang dipicu oleh stasiun tv yang marak menayangkan dokumentasi kiprah beliau selama menjabat sebagai presiden membuat kian terasa manis karena tidak mereka dapatkan pada pemerintahan-pemerintahan berikutnya..
Keinginan pihak tertentu mengajukan Pak Harto untuk mencantumkan namanya dalam catatan sejarah sebagai “Pahlawan Nasional” tersandung oleh Peraturan Presiden No 33/1964, bahwa seorang pahlawan tidak boleh ternoda oleh perbuatan yang membuat cacat perjuangannya. PerPres tidak hanya jadi kendala untuk melegalkan namanya dalam tinta emas perjuangan Indonesia, pengajuan ini harus melalui DPR dan diseminarkan untuk uji kelayakan, sehingga untuk mendapatkan suatu gelar kepahlawanan di Indonesia tidaklah mudah, tidak hanya berdasar asumsi atau pendapat orang per orangan saja, namun semuanya ada aturannya.
Pak Harto, telah melahirkan penghormatan dari mana-mana. Tidak saja dari dalam negeri, tapi juga dari negara-negara lain, termasuk negara-negara besar. Ada pengakuan atas perannya dalam membangun Indonesia dan Asia, namun pengakuan itu tak menghapus catatan dunia atas penyimpangan-penyimpangan yang ia lakukan, dalam hal ekonomi, politik, hukum, dan hak asasi manusia.
Mengusulkan gelar pahlawan tak memberi tambahan apa pun baginya. Tidak menambah dalam penghormatan terhadapnya. Tidak pula menghilangkan catatan hitamnya.
Segala yang ada di dunia ini akan binasa, pangkat, jabatan, dan penghormatan, segala sesuatu yang dianggap berharga bagi seorang anak manusia semuanya sementara tidak ada yang kekal abadi melainkan dzat yang menciptakan tidak terkecuali seorang penguasa rezim orde baru sekalipun. Kini ia hidup bertemankan papan, cacing, dan gelapnya alam. Tinggal penantian terhadap keputusan yang Maha Kuasa, moga ia menerima kebaikan yang pernah dilakukan, mengampuninya serta azab kubur dijauhkannya. Wallohua'lam bi showab.(FKS)
Senin, 25 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar