Oleh : Muhammad Gagah Prawira
Dept.Kebijakan Publik KAMMI IPB
Masih segar dalam ingatan kita pada tahun 2003 betapa gencarnya isu bahwa Irak merancang sebuah senjata pemusnah massal. Isu itu disebarkan oleh sebuah negara besar bernama Amerika Serikat. Bertindak seolah-olah sebagai Polisi Dunia dia mengambil tindakan untuk menghukum Irak dengan menggulingkan paksa pemerintahan saat itu,bahkan tercatat sebagai sebuah invasi terbuka terbesar pasca perang dunia II dan perang Vietnam
Sungguh aneh tapi nyata,ketika Amerika membawa hal ini di kancah internasional (baca:Persatuan Bangsa-Bangsa) dengan harapan untuk mendapat restu ternyata anggota The Big Five yang lain yang sama-sama memiliki hak veto sudah jelas-jelas menolaknya. Tapi AS tetap melanjutkan niatnya untuk menginvasi Irak. Padahal sudah menjadi aturan dalam PBB ketika salah satu saja anggota The Big Five menggunakan hak vetonya maka batallah rencana apapun dari negara manapun. Pun setelah itu AS tetap menjalankannya.
Ketika perang ini akhirnya dimulai pun warga negara AS sendiri mengadakan demo besar-besaran untuk menyatakan ketidaksetujuannya atas penyerangan AS ke Irak. Pun hal itu tidak menyurutkan niat AS untuk tetap melanjutkan akting palsunya sebagai polisi dunia. Bahkan demo-demo besar di berbagai negara menyatakan hal yang sama,yaitu kutukan terhadap AS atas penyerangannya ke Irak.
Tidak tanggung-tanggung,anggaran yang disiapkan untuk invasi ini.Lebih dari 1 trilyun dolar. Jelas ini menjadi tanda tanya besar mengingat bahwa saat itupun AS sedang ditempa ancaman invasi juga hutang luar negeri. Maka tidak berlebihan jika hal ini menimbulkan berbagai macam pertanyaan dan analisis dari para ahli tentang apa sebenarnya yang menjadi tujuan AS “mengamankan” Irak.
Maka tidak berlebihan jika sekarang publik mengarahkan perhatian kepada kondisi minyak Irak yang sangat melimpah. Karena sampai saat ini pun,setelah lima tahun invasi AS ke Irak dilakukan tidak pernah terbukti bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal seperti yang AS isukan. Konon,ketersediaan minyak di wilayah Irak cukup untuk konsumsi AS selama 500 tahun. Hal itu akan menjadi sangat masuk akal karena hampir semua aktivitas manusia tidak mampu dipisahkan dari kebutuhan akan minyak,seperti BBM,konsumsi minyak rumah tangga,bahkan kebutuhan industri.
Sungguh mengenaskan,upaya ketidakadilan AS ini diperparah dengan pemberitaan media yang sama sekali tidak mendukung Irak sebagai sebuah negara yang punya hak untuk menentukan kebijakan negaranya sendiri. Bukankah suatu hal yang wajar jika kita mempertahankan rumah kita sendiri jika ada orang asing yang berusaha merusak bahkan menghancurkan rumah kita? Tapi usaha mempertahankan harga diri bangsa Irak justru dianggap sebuah aksi terorisme. Hal ini diperparah dengan anggapan Barat bahwa agama Islamlah penyebabnya. Harusnya kita melihat lebih dalam lagi mengapa mereka melakukan itu bukannya malah mencari kambing hitam untuk menyalahkan keadaan.
Prose eksekusi pemimpin Irak pun sangat tidak demokratis. Pengadilan yang terjadi hanyalah formalitas untuk menyingkirkan rezim saat itu. Alasan utama yang digunakan adalah kejahatan atas kemanusiaan dengan membunuh banyak warga Irak. Tapi tahukah pembaca semua bahwa perang yang diprakarsai oleh AS dibantu dengan sekutu-sekutunya telah menyebabkan korban yang lebih banyak. Menurut penelitian salah seorang pengamat dari Australia,lewat sebuah badan riset Opinion Research Business menyatakan bahwa jumlah korban yang disebabkan perang Irak adalah sebesar 1 JUTA ORANG bahkan mayoritas adalah warga sipil. Maka jika (Alm) Saddam Husen dianggap penjahat HAM atas pembantaian yang dilakukannya,maka harusnya Bush harus diberi gelar PENJAHAT PERANG INTERNASIONAL atas apa yang dilakukannya. Tapi mengapa sampai sekarang hal ini tidak pernah disinggung oleh PBB?
Pertanyaan besar yang sangat sulit dijawab tapi sangat mudah untuk diucapkan. Setelah semua hal terjadi,maka SIAPA TERORIS YANG SEBENARNYA????
CP.gagah9787@gmail.com